Sebulan lamanya sejak saya terakhir kali menulis di Blog ini dan saya merasa sudah tertinggal terlalu banyak hal yang (mungkin) menarik bagi saya, yang berarti juga ketinggalan untuk menulis beberapa hal menarik. Lalu? Sudahlah, bukan untuk membicarakan kealpaan saya tulisan ini.
Terinspirasi dari bacaan koran di Perpustakaan pagi tadi, dimana banyak artikel dari koran itu yang berbicara tentang PTN dan UU BHP (Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan). Tentu sebenarnya buka berita benar-benar baru lagi itu, tapi entah mengapa masih marak dibicarakan setiap hari. Memang, sudah dicabut Undang-Undang yang konon tidak adil bagi rakyat kecil karena PTN dianggap melakukan komersialisasi kesempatan pendidikan dengan adanya Ujian Mandiri yang berujung pada banyaknya pungutan dan sumbangan sejak pendaftaran tes hingga masuk kuliah. Nah, bagaimana dengan nasib Ujian Mandirinya tetapi?
Ada wacana bahwa Ujian Mandiri akan dihapuskan juga, dan segera muncul berbagai kontroversi mengenai hal ini. Bagi yang mendukung penghapusannya, mereka beranggapan bahwa Ujian Mandiri menyakiti perasaan rakyat kecil karena mahalnya biaya Ujian Mandiri lalu besarnya kuota masuknya. Menurut Kompas misalkan, pada tahun 2010 ini Universitas Gajah Mada hanya akan memberikan jatah 11% dari jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dari total kuota 7.145 dimana 4.000 diambil dari jalur Ujian Tertulis dan 2.179 dari jalur Penelusuran Bibit Unggul. Begitu pula dengan banyak PTN lainnya yang memberikan jatah masuk PTN melalui SNMPTN hanya sedikit kuota. Padahal SNMPTN itu diseleksi secara Nasional dan serentak se-Indonesia dan ditambah lagi biayanya yang relatif murah (Rp150.000 untuk tes IPA/IPS dan Rp175.000 untuk tes IPC), tentu saja pesertanya sangat banyak. Namun mereka yang berjuang melalui SNMPTN yang dianggap soalnya sangat susah harus “mengalah” dengan yang masuk dengan jalur mandiri.
Sedangkan bagi mereka yang tidak setuju dengan penghapusannya, beberapa dari mereka khususnya kalangan dari Universitas beranggapan bahwasanya PTN di Indonesia sangat butuh Biaya dan Sumbangan dari ujian masuk Mandiri itu dikarenakan dana dari pemerintah sama sekali tidak mencukupi biaya kebutuhannya. Menurut Kompas lagi misalnya, Institut Teknologi Bandung hanya menerima Rp185 Miliar dari total kebutuhan Rp700 Miliar sedangkan sisanya dari Mahasiswa dan Alumni serta Kerjasama Penelitian dan Proyek Ilmiah, dan juga Universitas Indonesia hanya menerima Rp300 Miliar dari total kebutuhan Rp1.400 Miliar dan sisanya harus diusahakan sendiri dari Kerjasama dengan Industri dan sumbangan Alumni. Memang, alasan kekurangan biaya menjadi salah satu argumen terkuat untuk menentang penghapusann Ujian Mandiri. Ketika saya berdiskusi singkat dengan guru saya tadi, beliau beranggapan bahwa mustahil PTN akan serta-merta menghilangkan salah satu sumber pemasukan terbesarnya secara total tanpa adanya alternatif lain seperti peningkatan pemasukan dari pemerintah.
Lalu, menurut saya pribadi permasalahan yang akan terjadi dengan ketiadaan Ujian Mandiri adalah jika hanya ada SNMPTN saja maka mereka yang ingin masuk PTN akan kehilangan kesempatan untuk mencoba beberapa PTN dikarenakan SNMPTN hanya diadakan sekali sehingga jika mereka gagal di SNMPTN maka mereka akan kebingungan kemana apalagi jika tidak mendaftar masuk PTS sebelumnya. Jadi menurut saya Ujian Mandiri juga memberikan kesempatan lebih banyak memang.
Aneh memang menurut saya, karena dua dekade lalu hanya ada satu jalur masuk tetapi tidak banyak permasalahan seperti sekarang. Ada pendapat?
Fresh Comments